Part I : Mencari Keberadaan Kerajaan Padjadjaran yang Hilang (Prasasti Batutulis)

Mandala Nusantara
15 min readJul 1, 2024

--

Oleh M. Diffa Al-Ghifari

Ketika Raden Kiang Santang tiba di Kerajaan Pakuan Padjadjaran ia tidak menemukan ayah dan prajuritnya. Akhirnya ia mencari kedalam hutan dan menemukan bahwa ayah beserta prajuritnya telah berubah menjadi Harimau sehingga Kian Santang gagal meng islamkan ayahnya…

Begitulah kisah secara ringkas bagaimana mitos tentang Prabu Siliwangi dan prajuritnya berubah menjadi “Maung” yang banyak diyakini oleh orang Sunda hingga saat ini.

Prabu Siliwangi dan Maung atau terkadang disingkat menjadi Maung Siliwangi, merupakan sebuah mitos yang dipercaya oleh orang Sunda tentang adanya eksistensi seorang raja dulu yang selalu melindungi keturunan-keturunannya dimanapun berada. Orang Sunda menyebutnya dengan “Khodam Maung Siliwangi” Maksudnya adalah pelindung Ghaib berupa Harimau Jadi-jadian Prabu Siliwangi.

Dalam Mitos Sunda, setidaknya terdapat tiga keyakinan yang hingga saat ini masih dipercaya oleh Orang Sunda kebanyakan Yang pertama adalah Prabu Siliwangi yang enggan masuk Islam atas bujukan dari anaknya yang bernama Raden Kian Santang, yang kedua Hilangnya secara ghaib Kerajaan Pakuan Padjadjaran yang hingga saat ini bangunannya tidak ditemukan lagi, Ketiga Prabu Siliwangi dan prajuritnya moksa menjadi segerombolan Harimau yang mendiami Kerajaan Padjadjaran.

Sekitar tanggal 3 Mei 2024 kemarin, kami (saya dan rekan) mengunjungi sebuah situs yang berada di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Plank penunjuk jalan memberikan kesan kepada kami tentang keberadaan Kerajaan Padjadjaran yang cukup banyak diselimuti misteri. Isi dari Plank tersebut adalah “The Lost Kingdom of Pakuan Padjadjaran” Yang mengisyaratkan bagaimana legenda hilangnya Kerajaan, cukup bisa menjadi sebuah daya tarik tersendiri.

Bagi saya Situs ini cukup sexy untuk ditelusuri lebih dalam. Bagaimana tidak? Selain mampu menunjukan keberadaan Kerajaan Padjadjaran yang hilang, situs ini juga mampu menjawab beberapa mitos masyarakat Sunda yang kini menjadi sebuah icon Kesundaan yang terus di lestarikan yaitu Prabu Siliwangi dan Maung.

Objek utama pada Situs ini berupa prasasti dengan ada 6 objek lainnya di sekitar Prasasti. 6 objek tersebut adalah Lingga, tiga batu yang satu ada berbentuk segitiga, dan yang satunya lagi berupa tapak kaki manusia, lalu ada batu yang menurut keterangan Kuncen Batutulis bernama Emak Mumun merupakan tempat duduk Raja atau istilah Orang Sundanya adalah “Sarandean” Atau tempat menyandar dan Tempat menyimpan Kuda.

Lingga salah satu objek lain di Situs Prasasti Batutulis (doc. Pribadi).
Sarandean, Salah satu objek lain di Situs Prasasti Batutulis (doc. Pribadi).

Saya merupakan orang yang mudah terbawa suasana sebenarnya. Hal yang mungkin jarang dirasakan oleh orang lain adalah ketika kami masuk ke dalam ruangan situs, saya merasa adanya sebuah energi “Wingit” yang menjadi “shield” Situs tersebut. Ini bukan menunjukan saya merupakan ahli spiritual dan semacamnya, cuman mungkin terbawa suasana akibat “dulu ada seorang tokoh yang pernah datang kesini” Ini layaknya kita membeli brand-brand bekas tokoh idola kita di dunia pasar treafting.

Disini kita akan mencoba menjabarkan satu persatu tentang tiga kepercayaan masyarakat Sunda dalam sudut pandang yang berbeda dari situs ini hingga menemukan jawaban “kemana perginya Kerajaan Padjadjaran sebenarnya?”

A. Analisis Prasasti Batutulis

Prasasti Batutulis (Doc. Pribadi).

Emak Mumun, begitulah orang-orang sekitar mengenalnya. Ia diberi amanat untuk menjaga situs ini yang mungkin memang sudah turun temurun dilakukan. Orangnya cukup ramah dan sangat menerima kedatangan kami ke situs yang dikenal secara umum sebagai Situs Prasasti Batutulis.

Ia mau menunggu kami dan dengan senang hati menjelaskan beberapa hal yang kami tanyakan berkaitan dengan situs ini.

Saya bersama dengan Emak Mumun (Doc.Pribadi).

Saya mencoba mengamati teks aksara yang terkandung dalam prasasti Batutulis. Aksara ini menunjukan bahwa ia ditulis menggunakan aksara Kawi yang memang cukup umum digunakan sejak abad ke 8 M di Pulau Jawa. Walaupun memang informasi tentang penggunaan Aksara Kawi dalam penulisan prasasti Batutulis sudah ada, namun ketika saya melihat langsung saya sempat berfikir sejenak bagaimana aksara ini bisa sukses menjadi Aksara yang cukup populer bahkan hingga abad ke 16 M di Pulau Jawa. Jadi penjelasan sedikit, aksara Kawi ini merupakan aksara hasil kreasi pertama orang Nusantara ketika nenek moyang kita dulu mengenal aksara Pallawa dari India untuk pertama kalinya pada abad ke 5 M. Diwaktu-waktu berikutnya masyarakat Nusantara lalu merevolusi aksaranya mengadaptasi dari Pallawa menjadi aksara Khas Pulau Jawa yang kini kita kenal dengan nama Aksara Kawi. Entah siapa yang menciptakannya pertama kali namun aksara ini cukup berhasil digunakan dibeberapa wilayah seperti di Pulau Jawa dan Pulau Malayu di Sumatera pada abad ke 8 M ke atas.

Emak Mumun juga lah menjelaskan kami tentang beberapa objek di situs ini seperti Lingga, Sarandean Raja, tapak kaki dan Tempat Kuda. Ia juga menunjukan sebuah lembaran yang didalamnya berisi tentang penjelasan secara spesifik tentang situs Prasasti Batutulis ini.

Lingga merupakan sebuah arca yang menjadi simbol dari Penis Dewa Siwa. Arca ini tidak hanya ditemukan di sini saja, beberapa Candi di Tanah Jawa juga memiliki Lingga yang biasanya terdapat di dalam Candi. Ini menunjukan jika ajaran Hindu sekte Siwaisme merupakan ajaran Hindu yang cukup banyak dianut oleh masyarakat Pulau Jawa pada saat itu.

Dalam lembaran yang ditunjukan kepada kami, saya menyimpulkan setidaknya terdapat beberapa informasi penting dalam isi Prasasti Batutulis diantaranya adalah :

  1. Menjelaskan tentang penobatan Sri Baduga Maharaja (Raja Sunda) yang dilakukan dua kali.
  2. Menjelaskan tentang silsilah Sri Baduga Maharaja dari ayah dan kakeknya.
  3. Acara “selametan” atas penobatan Sri Baduga menjadi raja dengan mendirikan Punden Berundak, Parit, Hutan Samida dan Talaga Sanghyang di sekitaran Kota Bogor.
  4. Dan tahun dimana prasasti ditulis.
  5. Prasasti tidak ditulis langsung oleh Sri Baduga Maharaja melainkan ditulis oleh Raja setelahnya yang bernama Prabu Surawisesa.

Lantas secara dasar kita akan bertanya-tanya siapa sebenarnya Sri Baduga Maharaja ini sampai-sampai namanya ditulis oleh Raja setelahnya? Mengapa Prabu Surawisesa tidak menulis dirinya sendiri layaknya raja-raja lain di Nusantara? Sub judul berikutnya akan menjawab ini semua.

B. Siapa Prabu Siliwangi?

Lukisan Ridho tentang Sri Baduga Maharaja yang dipajang di Keraton Cirebon (sumber : wikipedia).

“Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah pria sejati”.

Begitulah penjelasan yang di ungkapkan oleh Tome Pires, seorang penjelajah dari Portugis pada abad ke 16 M. Ia menjelajah Pulau Jawa dan menulis sebuah catatan yang ditulis pada tahun 1512–1515 M. Ketika ia mengunjungi Sunda, ia berada di masa Sri Baduga Maharaja masih bertahta hingga tahun 1521 M. Penjelasan ini menunjukan bagaimana pemerintahan Sunda dimasa Sri Baduga memimpin diperintah dengan cukup baik. Tidak heran jika masyarakat Sunda pada masa itu sangat menghormati Sri Baduga Maharaja sebagai seorang Raja yang cukup hebat dan tangguh. Raja sangat gemar sekali berburu mengikuti perawakan orang Sunda yang dijelaskan Tome Pires bisa kita ambil kesimpulan jika Raja memiliki badan tegap dan berkulit hitam (Sawo Matang?). Beberapa spekulasi menjelaskan jika Sri Baduga inilah yang disebut-sebut sebagai Prabu Siliwangi.

Prabu Siliwangi sendiri bukanlah sebuah nama, melainkan gelar raja-raja Sunda yang beberapa spekulasi menduga jika gelar ini mulai digunakan ketika Sri Maharaja (Bukan Sri Baduga Maharaja) mati di Lapang Bubat ketika perang melawan Majapahit pada abad ke 15 M awal.

Apa yang membuat masyarakat Sunda modern menjadikan Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja sangat di sanjung adalah karena memang dimasanya, Tanah Sunda berada di masa kemakmurannya. Ini terjawab juga dalam Prasasti Batutulis.

Jika kita mau bertanya-tanya secara mendalam, mengapa Prabu Surawisesa sebagai raja pengganti Sri Baduga Maharaja justru membuat prasasti khusus yang malah menjelaskan tentang keagungan Raja sebelumnya dari pada menceritakan dirinya sendiri? Saya sedikit membaca beberapa referensi berkenaan mengenai yang cukup membuat hati saya agak sedikit tersayat.

Prabu Surawisesa sebenarnya merupakan anak dari Sri Baduga Maharaja dari istri Hindunya yaitu Mayang Sunda. Jadi selain Mayang Sunda Sri Baduga juga memiliki istri yang beragama Islam bernama Nyi Subang Larang yang nantinya anak-anaknya melahirkan Keraton Cirebon. Jadi ada cerita lain yang mana ketika Nyi Subang Larang meninggal, salah satu anaknya yang bernama Pangeran Walangsungsang mengalami perlakuan yang kurang baik oleh lingkungan Kerajaan. Ia seakan diacuhkan karena berbeda agama dengan agama resmi kerajaan yang pada saat itu menganut ajaran Hindu. Akhirnya ia pergi dari Kerajaan dan mendirikan Keraton Cirebon, walaupun masih berada di bawah kekuasaan Padjadjaran.

Pada masa Sri Baduga berkuasa, Cirebon masih belum berani melakukan pemberontakan kepada Padjadjaran karena segan dengan ayahnya. Namun ketika ayahnya telah wafat digantikan dengan Prabu Surawisesa, Cirebon yang pada saat itu juga sudah berganti tahta yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati merasa setara dengan Surawisesa karena bagaimanapun ayahnya yang merupakan Pangeran Cakrabuana adalah kakak se ayah dengan Prabu Surawisesa. Akhirnya Cirebon berani sedikit demi sedikit melakukan perlawanan kepada Padjadjaran yang telah dipimpin oleh Prabu Surawisesa.

Sebenarnya kekuatan Cirebon ini bukanlah merupakan kekuatan murni melainkan adanya aliansi dengan Demak di Jawa Timur yang membuat kekuatan Cirebon menjadi kuat.

Beberapa kali Padjadjaran dan Cirebon sedikit bersingungan yang berujung pada peperangan kecil. Alasan Demak pada saat itu ingin bekerja sama dengan Cirebon karena, Sunda melakukan aliansi dengan Portugis di Melaka. Demak yang pada saat itu memang sedang berperang Portugis, khawatir jika aliansi antara Sunda dan Portugis mengancam kedaulatannya di Pulau Jawa. Patok Padrao yang ditancapkan oleh Portugis di Calapa sebagai penanda akan berdirinya pangkalan dagang di Sunda semakin takut jika Portugis juga membangun Pangkalan Militer di Sunda. Mau tidak mau Demak dan Cirebon melakukan sweeping di Pesisir Utara Tanah Sunda yang berakhir pada penguasaan Sunda Kalapa oleh Demak. Padjadjaran akhirnya terpojok dipedalaman, hal ini lah yang mungkin membuat Prabu Surawisesa frustasi merasa gagal akan kepemimpinannya ia selalu terbayang-bayang akan kekuasaan ayahnya yang cukup kuat sehingga tidak ada yang berani melawannya. Akhirnya untuk mengenang Ayahnya ia membuat Prasasti Batutulis sebagai bentuk memorial mengenang ayahnya pada tahun 1533 M.

Dimasa Prabu Surawisesa, Kerajaan Padjadjaran mengalami masa kemunduran yang membuat Banten memanfaatkan hal itu merdeka dan menyapu bersih Padjadjaran di Pakuan.

Prabu Surawisesa tak mampu membendung serangan Banten yang mengakibatkan Kerajaan Padjadjaran benar-benar hancur.

Menurut Emak Mumun tapak kaki yang terdapat di batu Batutulis adalah Cap kaki dari Prabu Surawisesa itu sendiri layaknya Tanda Tangan dalam surat-surat kini.

Tapak Kaki yang diduga Kaki dari Prabu Surawisesa (doc. Pribadi).

Disini sebenarnya kita bisa memahami kondisi pada saat itu bagaimana masyarakat Sunda bahkan Prabu Surawisesa sendiri merindukan masa keemasan Padjadjaran pada saat Sri Baduga Maharaja bertahta. Akhirnya harapan dan kerinduan ini diwariskan secara turun temurun ke anak cucu Orang Sunda hingga saat ini dengan sebutan Prabu Siliwangi.

Jadi tidak heran jika walaupun Prabu Siliwangi adalah gelar raja-raja Sunda setelah kematian Sri Maharaja, nama ini lebih di icon kan kepada Sri Baduga Maharaja yang mampu membawa Sunda di masa keemasannya.

B. Mitos Maung dan Siliwangi

Salah satu rekan (Rafif) yang sedang bediskusi dengan Emak Mumun (Doc. Pribadi).

dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort

Laporan di atas merupakan sebuah laporan dari seorang penjelajah dan seorang tentara Belanda pada tanggal 23 Desember 1687 yang bernama Peter Scipio Van Oonstende. Ia menjelajah kepedalaman hutan Parahyangan dan menemukan bekas reruntuhan Kerajaan yang diduga adalah milik dari Kerajaan Padjadjaran yang telah hancur.

Dalam buku Java Essay : The History and Culture Southern Country karya Masathoshi Iguchi tahun 2015. Diceritakan ketika Scipio tiba di tempat yang konon merupakan bekas Kota Pakuan (Ibu Kota Padjadjaran). Disana ia menemukan bekas reruntuhan Batu Bata ada sebuah Parit yang mana dibalik parit tersebut ada gerbang. Tim dilarang masuk karena itu merupakan tempat keramat yang hanya boleh dimasuki oleh pribumi Muslim saja. Namun dalam laporannya dikatakan :

“bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja (Pajajaran) sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau”.

Mungkin kita akan langsung teringat tentang mitos legenda “Maung” Dalam kepercayaan masyarakat Sunda. Seakan laporan yang dikeluarkan Scipio mengindikasikan validitas bahwa Raja memang benar-benar berubah menjadi Harimau atau Orang Sunda menyebutnya dengan “Maung”.

Mitos ini sebenarnya banyak mengalami “Missing Link” Dalam kisahnya. Karena dalam kisah mitos yang dipercaya orang Sunda, Prabu Siliwangi berubah menjadi Maung karena hendak diislamkan oleh anaknya yang bernama Raden Kian Santang. Namun ini tidak terkorelasi dengan fakta sejarah yang ada, pada kenyataannya Padjadjaran diserang oleh Banten. Tapi dalam hal ini kita bisa menemukan sebuah intisaari bahwa pada saat itu Padjadjaran memang sedang mengalami konfik dengan kerajaan-kerajaan Islam yaitu Banten, Cirebon dan Demak. Mungkin masyarakat Sunda pada saat itu menyalahkan Cirebon karena seakan Cirebon yang merupakan anak dari Sri Baduga Maharaja sendiri adalah dalang dari keruntuhan Padjadjaran yang merupakan warisan kerajaan ayahnya (Karena Cirebon didirikan oleh anak Sri Baduga Maharaja). Selain itu Islamisasi di Tanah Sunda memang sedang gencar-gencarnya dilakukan sehingga terlihat bagaimana kisah mitos Raden Kian Santang berisi tentang bagaimana Santang sebagai anak dari Prabu Siliwangi ingin mengislamkan ayahnya.

Di akhir cerita, Prabu Siliwangi yang enggan di Islamkan oleh Kian Santang akhirnya lari kedalam hutan beserta para prajuritnya dan merubah wujudnya menjadi Maung. Dalam akhir cerita ini dapat kita pastikan bahwa Ayah dan Prajurit yang berubah menjadi maung mungkin saja teradaptasi dari lingkungan sekitar yang sama dengan yang dilaporkan oleh Scipio bahwa Bekas wilayah Kerajaan memang masih dijaga oleh Harimau.

Ilustrasi Kerajaan Padjadjaran yang terbengkalai dan dihuni oleh Harimau-harimau liar (microsoft bing Ai Generator).

Lalu bagaimana kita melihat hal ini dalam sudut pandang logika? Mari kita buka Pantun Bogor yang mana merupakan sebuah tradisi lisan orang-orang Bogor zaman dulu berkenaan mengenai ini. Perlu di ketahui dulu bahwa Pantun Sunda dengan Pantun Melayu merupakan sebuah kebudayaan yang berbeda walaupun memiliki nama yang sama.

Pantun di Melayu merupakan sebuah tradisi berbalas kata yang dirangkai mengikuti rumus A-B-A-B sedangkan di Sunda, Pantun merupakan tradisi sejarah lisan yang di wariskan secara turun temurun dan ketika di ceritakan biasanya dilengkapi dengan alat musik tertentu.

Berikut isi Pantun Bogor yang mungkin akan kita fahami bagaimana kondisi pada saat itu :

“tinggolosor sagede-gede cangkeng;

oray sanca pararanjang;

ngambeu bangke patulayah;

diselang teu eureun-eureun rada jauh kadengena;

loba jerit menta tulung; jerit jelema nu harirup keneh;

tapi payah teu walakaya;

keur direcak ajag nu garalak;

loba jerit sasambatan;

jerit jelema harirup keneh;

tapi payah teu walakaya;

keur ditekuk digusur maung”

Terjemahan pribadi :

“Merayap sebesar pinggang, ular Sanca yang panjang-panjang, Mencium bau Bangkai berserakan, Diselang tidak henti-henti dari kejauhan terdengar, Banyak yang menjerit minta tolong, jeritan manusia yang masih hidup, Tapi sayang tidak berdaya, Sedang di gerogoti Ajag (Anjing Hutan) yang galak, Banyak menjerit mengeluh (kesakitan?), Jeritan manusia yang masih hidup, Tapi sayang tak berdaya, Sedang diterkam dan digusur Harimau,”

Kondisi diatas, mengisahkan tentang peperangan yang terjadi antara Padjadjaran dengan musuhnya yang tidak lain dan tidak bukan adalah Banten. Ketika Peperangan selesai dan banyak prajurit yang mengeluarkan darah bau amis ternyata mengundang beberapa hewan buas datang ke lokasi bekas peperangan berlangsung. Disana masih banyak prajurit-prajurit yang sekarat dari pihak Padjadjaran dan Pihak Banten. Prajurit yang sudah kehabisan tenaga akhirnya menjadi santapan dari ketiga hewan buas yang telah disebutkan di atas. Ini seakan menjadi pesta bagi hewan buas tersebut termasuklah Harimau yang merupakan hewan yang berada di puncak rantai makanan.

Seakan tersuguhkan dengan bangkai-bangkai yang ada dengan jumlah yang sangat banyak, akhirnya Harimau betah tinggal di lokasi peperangan yang jelas merupakan bekas Kerajaan Padjadjaran yang telah runtuh, karena tidak ada ancaman dari manusia lagi dan seakan mendapatkan makanan gratis dari bangkai-bangkai yang ada akhirnya Harimau menjadikan reruntuhan Kerajaan Padjadjaran menjadi sarangnya.

Tidak heran jika legenda tentang Kerajaan yang berubah menjadi Keraton Maung memang berasal dari sini.

C. Lantas Kemana Bekas Bangunan Kerajaan Padjadjaran Berada?

Sungai Cisadane yang mungkin menjadi Parit Pertahanan Kerajaan Padjadjaran (Doc. Pribadi).

Jika Padjadjaran benar-benar wujud kemanakah bekas Kerajaan Padjadjaran berada?

Mungkin ini menjadi tanda tanya besar tentang dimana titik kerajaan Padjadjaran pernah berdiri.

“Minimal jika Kerajaan Padjadjaran runtuh dan tidak menghilang, setidaknya bekas reruntuhan padjadjaran itu hingga saat ini ada”

Begitu kira-kira isi pikiran kita pada saat mencari keberadaan Padjadjaran yang bukti fisiknya sulit ditemukan.

Untuk melacak keberadaannya kita akan mencoba membuka dua referensi primer tentang kerajaan ini ditambah satu referensi Sekunder yang ditulis berdekatan dengan masa Kerajaan Padjadjaran yaitu Naskah Bujangga Manik, Suma Oriental, dan Carita Parahyangan.

Naskah Bujangga Manik sendiri merupakan naskah yang ditulis oleh seorang Pangeran dari Kerajaan Padjadjaran, ia bernama lain Pangeran Jaya Pakuan. Dalam kehidupannya ia lebih memilih menjadi seorang resi (ulama Hindu) ketimbang menjadi seorang pangeran ketimbang hidup dengan glamoritas hidup di kerajaan.

Untuk mencapai menjadi seorang resi ia melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke 16 M, sebelum Prabu Surawisesa bertahta. Dalam perjalanannya hingga akhir menetap di Gunung Patuha, ia mencatatnya dalam sebuah kertas lontar dan hingga kini catatannya menjadi sumber rujukan penting para ahli dalam meneliti geografi dan topografi Pulau Jawa pada abad ke 16 M.

Dikatakan awal keberangkatan Bujangga Manik di mulai ketika ia keluar dari Keraton

Sau(n)dur aing ti U(m)bul, sadiri ti Pakancilan, sadatang ka Wi(n)du Cinta, cu(n)duk aing ka Mangu(n)tur, ngalalar ka Pancawara, ngahusir ka Lebuh Ageung, na leu(m)pang saceu(n)dung kaen.

Terjemahan :

Setelah melewati Umbul, setelah pergi dari Pakancilan, dan setelah sampai di Windu Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, berjalan dengan mengenakan sehelai pakaian sebagai hiasan kepala.

Ngalalar ka Na(ng?)ka Anak, datang ka Tajur Mandiri.

Sacu(n)duk ka Suka Beureus, datang ka Tajur Nyanghalang, nyanglandeuh aing di Engkih, [ms. da] meu(n)tasing di Cihaliwung.

Sana(n)jak aing ka Ba(ng)gis, ku ngaing geus kaleu(m)pangan, nepi ka Talaga Hening, ngahusir aing ka Peusing.

Na leu(m)pang megat morentang, meu(n)tas aing di Cili(ng)ga.

Sane(pi) ka Putih Birit, panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding.

Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahididan a

Terjemahan :

Aku melewati Nangka Anak, tiba di Tajur Mandiri

Setelah aku tiba di Suka Beureus, aku pergi ke Tajur Nyanghalang, turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung.

Setelah naik menuju ke Banggis, aku melewatinya, dan sampai di Telaga Hening, aku meneruskan perjalanan ke Peusing.

Berjalan lurus ke depan, Aku menyeberangi Sungai Cilingga.

Setelah tiba di Putih Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang, yang aku lakukan sedikit demi sedikit.

Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri.

Dalam pembabaran di atas kita mendapati tiga wilayah yang hingga saat ini namanya masih eksis di Kota Bogor Yang pertama adalah Pakancilan, Tajur, dan Puncak. Dari sini bisa kita dapati jika posisi Kerajaan berada di Barat Puncak yang menjurus melewati Prasasti Batutulis (walaupun pada saat itu Prasasti Batutulis belum dibuat).

Dilanjut pada Naskah Carita Parahyangan yang mana ia menjelaskan secara rinci posisi Kerajaan :

Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.

Terjemahan :

Di sanalah bekas kerajaan yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Disana Pakancilan disebut lagi, yang mana bisa kita dapati jika lokasi Kerajaan Padjadjaran memang berada di sekitar Ci Pakancilan atau Sungai Pakancilan. Karena Carita Parahyangan menyebutnya secara rinci dengan mengatakan Hulu Sungai Pakancilan maka bisa kita dapati jika Kerajaan Padjadjaran berkemungkinan besar berada di sekitaran Hulu Sungai Pakancilan.

Di Hulu Sungai Cipakancilan sendiri terdapat wilayah yang disebut dengan “Lawang Gintung”. Lawang Gintung sendiri memiliki arti “Pintu Kayu Besar” Yang mungkin merujuk pada pintu gerbang Padjadjaran itu sendiri.

Ketika Bujangga Manik pulang untuk yang pertama kali dari perjalanannya, ia datang ke Pakancilan dan membuka gerbang Kerajaan, jadi mungkin saja Lawang Gintung sendiri adalah Pintu Gerbang Kerajaan.

Lalu sekarang apakah masih ada Kerajaan Padjadjaran? Dalam catatan Portugis yaitu Tome Pires “Suma Oriental” Dikatakan jika :

“Di Kota ini memiliki rumah-rumah yang dibangun dengan baik dari daun palem dan kayu.

Mereka mengatakan bahwa rumah raja ada tiga ratus tiga puluh
tiang-tiang kayu setebal tong anggur dan tingginya lima depa,
dan kerajinan kayu yang indah di bagian atas pilar, dan sangat
rumah yang dibangun dengan baik”

Dalam penjelasan Tome Pires dapat kita ketahui jika Bangunan Kerajaan dibangun dengan kayu-kayu sebesar Tong Anggur dengan tinggi sekitar 5 Depa yang mungkin sekitar 6 meter.

Jadi mungkin saja bangunan kerajaan beserta rumah-rumah yang ada disekitarnya sudah lapuk oleh jaman atau dibakar ketika peperangan berlangsung ini juga seperti yang dijelaskan dalam pantun Bogor bahwa :

sadayeuh PAJAJARAN;

jadi TALAGA NALA-SINALAAN…!

Euweuh saung nu nangtung;

euweuh kandang tinggal papalang;

euweuh leuit anu kari;

euweuh imah anu hanteu kalentab !

Kabeh anu aya di jero dayeuh;

euweuh nu kari !

Kabeh- kabeh- kabeh-…… kabeh ngan kari urutna !

Kadaton kari umpak;

tingpecenghul dina lebu anu hauk !

Tamanna jiga rarahan;

tarate layu kabarerang;

Tangkal kadu – tangkal manggu; tundun – dukuh eujeung picung;

ngan kari kayu nu nangtung;

hideung lestreng jaradi areng;

ngalenggeceng sabari ngelun !

Kabeh- kabeh-……

jaradi lebu…!

KETANG !

Aya keneh nu kari;

jiga teu kadeuleu ku seuneu;

NYA eta!

HANJUANG SIYANG sadapuran;

sisi taman beulah wetan;

sakalereun LAWANG GINTUNG !

Terjemahan pribadi :

Sekota Padjadjaran,

Jadi Telaga api yang berhamburan,

Tidak ada gazebo yang berdiri,

Tidak ada kandang menyisakan palang Kandang,

Tidak ada tempat beras yang tertinggal,

Tidak ada rumah yang tidak tertelan [?],

Semua yang ada di dalam Kota,

Tidak ada yang tertinggal,

Semua, semua, semua…., semua,

Hanya Tinggal bekasnya,

Kerajaan hanya tinggal penyangga tiang (dari Kayu),

Menonjol di lebu yang berserakan [?]<,

Tamannya seperti tempat sampah,

Bungai Teratai Layu terlambat,

Pohon Durian, pohon Manggu, Tandun, dukuh dan picung,

Hanya cuma kayunya saja yang berdiri,

Sangat hitam menjadi arang,

Lenggeceng [?] sambil mengepul,

Semua, semua,

Jadi lebu

Tapi,

Masih ada yang tertinggal,

Seperti tidak terlihat bekas api,

Yaitu,

Hanjuang Siyang serumpun,

Di sisi sebelah timur,

Seutara dengan Lawang Gintung,

Disini dapat ketahui jika Kerajaan memang dibakar dalam peperangan yang terjadi sehingga tidak bersisa dan hanya pondasi-pondasinya saja yang dibuat dari kayu. Ini terkorelasi dengan penjelasan Tome Pires jika memang Pondasi Kerajaan memang berasal dari kayu.

Tidak heran jika Kerajaan Padjadjaran benar-benar tak menyisakan bangunannya, berbeda dengan bangunan-bangunan Candi di Tanah Jawa yang dibuat dari Batu Andesit.

Kini, hanya situs Batutulis sajalah yang bisa menggambarkan Kerajaan Padjadjaran itu sendiri.

Dokumentasi lainnya

Siganteng dari gua hantu hehe
Lembaran penjelasan situs Batutulis.
Tempat pengikat Kuda.
Letak yang menunjukan bentuk sebuah parit di atas Kerajaan.

Sumber :

-Hasil wawancara dengan Emak Mumun (Kuncen Batutulis).

-Tome Pires.1512–1515.“Suma Oriental”.

-Pantun Bogor cerita lisan turun temurun di Bogor.

-Carita Parahyangan abad ke 16

-Masathoshi Iguchi.2015.Java Essay : The History and Culture Southern Country.

--

--

Mandala Nusantara

~Perjalanan Hidup untuk mendapatkan Cara Berkomunikasi dengan Para Leluhur~